23 Desember 2008

Perlindungan Perempuan VS Tuntutan Perempuan Dalam Rumah Tangga

Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), akan membawa kita pada gambaran istri yang teraniaya akibat perbuatan sang suami yang semena-mena dan berujung pada penerlantaran, sehingga masalah ini tercakup sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan, bahkan sebagian kalangan menganggap permasalahan ini menjadi salah satu fenomena pelanggaran HAM pendapat ini sesuai dengan Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk kekerasan Terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1993.

Namun bila kita telusuri kembali sebab terjadinya konflik dalam rumah tangga, tidak semuanya benar bahwa permasalahan yang timbul selalu di awali oleh suami atau kaum laki-laki, tidak jarang pihak istri justru menjadi pemicu terjadinya konflik.

Di negara berkembang seperti di Indonesia kondisi sosial yang tidak seimbang cukup bisa memicu terjadinya konflik dalam rumah tangga, hal itu banyak di pengaruhi oleh kondisi sosial yang tidak menentu dan pengaruh modernisasi yang terus maju. Pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, papan dan pangan tidak lagi menjadi kebutuhan utama, tetapi yang mulanya hanyalah kebutuhan tambahan seperti pemenuhan kebutuhan terhadap akses dan hasil/ produk teknologi lainya tidak jarang dimasukan kedalam kebutuhan primer yang pada akhirnya mengkonstursi pemikiran masyarakat menjadi masyarakat konsumerisme sekaligus menjadi paradigma yang sulit untuk dihindarkan.

Pemahaman paradigma seperti ini berimplikasi pada tuntutan pemenuhan kebutuhan dalam rumah tangga yang relatif tinggi, sampai-sampai sirkulasi pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga tidak lagi seimbang, peristiwa seperti ini akan berdampak pada kondisi psikhis dari masing-masing komponen dalam rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga akan merasa sangat bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangganya, tetapi permasalahanya tidak semua suami dapat memenuhi semua kebutuhan itu karena berbagai macam faktor, salah satu faktor yang paling dominan adalah keterbatasan suami dalam mencari nafkah. Terkadang keterbatasan seperti ini kurang bisa dipahami oleh pihak istri, sehingga konflik dalam rumah tangga akan muncul dan tidak jarang berakhir dengan kekerasan fisik yang lebih dominan dilakukan oleh suami atau kaum laki-laki.

Pemahaman masyarakat pada umumnya sesuatu yang identik dengan kekerasan fisik, penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit, merupakan bentuk pelanggaran (KDRT), tetapi batasan dan bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak hanya sebatas itu, melainkan juga meliputi kekerasan Psikis yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak serta menimbulkan rasa tidak berdaya, kekerasan Seksual yaitu setiap perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual. Pertanyaanya apakah sikap istri yang terlalu menuntut suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangganya bisa dikategorikan pelanggaran KDRT?

Sebenarnya permasalahan KDRT ini telah mendapat perhatian dari pemerintah dengan telah diterbitkanya UU PKDRT pada Tahun 2004, namun dalam pelaksanaanya masih banyak mengalami kendala dan kurang maksimal, hal ini lebih disebabkan kurang maksimalnya proses sosialisasi dan penanganannya, UU PKDRT masih tergolong baru dan masih banyak sisi lemahnya khususnya dalam proses hukum acaranya, KDRT dalam proses hukumnya bersifat delik aduan jadi laporan KDRT dapat dicabut kembali oleh korban sehingga jarang sekali kasus KDRT yang selesai sampai putusan pengadilan, kenyataan seperti ini diperparah dengan sikap komunitas yang cenderung mengabaikan persoalan KDRT, karena terdapat keyakinan bahwa permasalahan rumah tangga adalah urusan internal dan akan menjadi aib ketika permasalahan itu terpublikasikan diranah publik.

Melihat fenomena semacam ini seharusnya pemerintah juga harus ikut bertanggung jawab, tidak hanya menciptakan suatu UU PKDRT, tetapi juga harus bertanggung jawab memberikan pemahaman dan sosialisasi secara intensif kepada seluruh komponen dalam masyarakat bahkan pada masyarakat yang kultur sosialnya paling bawah sekalipun. Selain peran pemerintah peran aktif organisasi kultural swadaya masyarakat seperti (NGO) dan (LSM) juga sangat dibutuhkan, karena organisasi-organisasi tersebut cenderung lebih bisa memahami kultur dan psikologis masyarakat pada umumnya.

Sebagai mahluk sosial tentunya kita tidak akan dapat menghindar dari suatu permasalahan, apalagi dalam menjalani hidup berumah tangga, permasalahan bisa datang sewaktu-waktu dan tak terduga, untuk meminimalisir konflik perlu adanya keseimbangan dengan jalan bisa saling memahami satu sama lain melalui mediasi komunikasi secara intensif, jadi tidak hanya sekedar mencari siapa yang bersalah telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga melainkan bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga dengan damai dan penuh keseimbangan.

Oleh: {Edy Wahyu Kurniawan}



1 komentar:

Annelis chavesia mengatakan...

Pemimikiran bahwa hanya lelaki yang harus memenuhi kebutuhan rumah tangga terkonstruksi karena budaya patriarki yang sudah mengakar budaya di Indonesia dan ketika ketika kita mengasih pemahaman tentang gender selalu kita dibenturkan oleh kaum agama konseratif yang mengaggap bahwa perempuan telah menyalahi kodartnya, dan bukan bermaksud pesimis. merubah pola pikir masyrakat membutuhkan waktu agak lama, dan itu bukan hal ya mustahi.sip.